LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
Percobaan II
“Depresansia Sistem Syaraf Pusat
(SSP) ”
13 April 2015
Di susun oleh
Kelompok 2
·
Yuni Destriyani (0661 13 137)
·
Mila Rosa (0661 13 146)
·
Tressa Amandha Demia (0661 13 157)
·
Agung Sopyan (0661 13 165)
Dosen pembimbing :
·
Drh. Mien R.,M.Sc.,ph.D
·
E.mulyati Effendi,.MS
·
Yulianita,.S.Farm
·
Nisa Najwa,.S.Fam.,Apt
Asisten
Dosen :
·
Mukhlis
·
Vina
LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2015
LEMBAR
PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI 1
Percobaan II
“Depresansia Sistem Syaraf Pusat
(SSP) ”
13 April 2015
Yuni
Destriani Mila
Rosa
( 0661 13 137) (0661
13 146)
Tressa Amandha D Agung
Sopian
(066113157) (066113165)
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Tujuan Percobaan
Mengetahui
mula kerja dan lamanya kerja suatu hipnotik sedatif
I.2 Latar
Belakang
Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem
saraf manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus
dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain :
mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan
lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi
sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf
pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula
diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang
belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar.
Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa
sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf
pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang
SSP disebut analeptika.
Hipnotik
sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang realtif
tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis
terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan
emosi dan menenangkan. Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama
rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Obat yang tergolong
sedative, yaitu chloralhidrat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit
dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus
otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
I.3 Hipotesis
Pemberian obat depresan pada mencit menyebabkan adanya
efek depresi ringan dan sampai terjadinya efek tidur. Hal ini dibuktikan dengan
pemberian obat urethane dan diazepam pada hewan mencit yang memberikan efek
depresi ringan dan efek tidur. Dari kedua obat ini menyatakan bahwa pemberian
obat urethane lebih cepat bereaksi dibandingkan dengan diazepam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Depresan adalah senyawa yang
dapat mendepres atau menekan system tubuh. Depresan Sistem Syaraf Pusat (SSP)
adalah senyawa yang dapat mendepres atau menurunkan aktivitas fungsional dari
sistem syaraf pusat (SSP). Akibat dari penurunan aktivitas fungsional sistem
syaraf pusat adalah menurunnya fungsi beberapa organ tubuh. Depresan sistem
syaraf pusat (SSP) ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa nyeri,
denyut jantung dan pernafasan. Depresansia terbagi atas golongan sedative,
hipnotika, anastetik umum. Depresansia golongan sedative menyebabkan respon
fisik dan mental dari hewan menghilang, tetapi tidak mempengaruhi kesadaran
atau dengan kata lain hanya menimbulkan efek sedasi. Depresansia golongan
hipnotika menimbulkan efek hipnotik pada hewan, sehingga rasa kantuk pada
hewan. Depresansia golongan sedative dan hipnotika ini apabila diberikan pada
dosis tinggi dapat menyebabkan efek anaesthesi. Depresansia golongan anastetik
umum adalah senyawa yang dapat menimbulkan efek anaeshtesi, sehingga kesadaran,
rasa nyeri dari hewan menjadi hilang, dan muscle
relaxan.
Efek samping
umum hipnotika mirip dengan efek samping morfin, yaitu
·
Depresi
pernafasan, terutama pada dosis tinggi. Sifat ini paling ringan pada flurazepam
dan zat-zat benzodiazepin lainnya, demikian pula pada kloralhidrat dan
paraldehida;
·
Tekanan darah
menurun, terutama oleh barbiturat;
·
Sembelit pada
penggunaan lama, terutama barbiturat;
·
“Hang over”,
yaitu efek sisa pada keesokan harinya berupa mual, perasaan ringan di kepala
dan termangu. Hal ini disebabkan karena banyak hipnotika bekerja panjang
(plasma-t½-nya panjang), termasuk juga zat-zat benzodiazepin dan barbiturat
yang disebut short-acting. Kebanyakan obat tidur bersifat lipofil, mudah
melarut dan berkumulasi di jaringan lemak.
Obat
Hipnotik dan Sedatif
Hipnotik atau obat tidur berasal dari kata hynops yang berarti tidur,
adalah obat yang diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi
keinginan tubuh normal untuk tidur, mempermudah atu menyebabkan tidur.
Sedangkan sedative adalah obat obat yang menimbulkan depresi ringan pada SSP
tanpa menyebabkan tidur, dengan efek menenangkan dan mencegah kejang-kejang.
Yang termasuk golongan obat sedative-hipnotik adalah:
Ethanol (alcohol),Barbiturate,fenobarbital,Benzodiazepam, methaqualon
DIAZEPAM
Diazepam adalah
obat anti cemas dari golongan benzodiazepin, satu golongan dengan alprazolam
(Xanax), klonazepam, lorazepam, flurazepam, dll.
Diazepam dan
benzodiazepin lainnya bekerja dengan meningkatkan efek GABA (gamma aminobutyric
acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan oleh
sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak.
Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat menyebabkan kecemasan dan
gangguan jiwa lainnya.Diazepam tidak boleh dijual bebas, tetapi harus melalui
resep dokter.
Diazepam
terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus.
Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya
bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim.
Diazepam dapat efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan
ombak yang terjadi dalam 1 detik.
Untuk mengatasi
bangkitan status epileptikus, disuntikkan 5-20 mg diazepam IV secara lambat.
Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai
beberapa jam. Diazepam dapat mengendalikan 80-90 % pasien bangkitan
rekuren.
Efek samping
diazepam yang paling sering adalah mengantuk, lelah, dan ataksia (kehilangan
keseimbangan). Walaupun jarang, diazepam dapat menyebabkan reaksi paradoksikal,
kejang otot, kurang tidur, dan mudah tersinggung. Bingung, depresi, gangguan
berbicara, dan penglihatan ganda juga merupakan efek yang jarang dari diazepam.
Efek samping obat ini berat dan berbahaya yang menyertai penggunaan diazepam IV
ialah obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disamping ini
dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafas, hipotensi , henti jantung, dan
kantuk.
Diazepam dapat
menyebabkan ketergantungan, terutama jika digunakan dalam dosis tinggi dan
dalam jangka waktu lama. Pada orang yang mempunyai ketergantungan terhadap
diazepam, penghentian diazepam secara tiba-tiba dapat menimbulkan sakau (sulit
tidur, sakit kepala, mual, muntah, rasa melayang, berkeringat, cemas, atau
lelah). Bahkan pada kasus yang lebih berat, dapat timbul kejang.
Oleh karena itu, setelah penggunaan yang lama, diazepam sebaiknya
dihentikan secara bertahap, dan sebaiknya di bawah pengawasan dokter.
URETAN
Uretan adalah senyawa etil ester dari
asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti
choralose. Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan
farmakologi. Uretan sering dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan
aktivitas muskular. Menurut literatur, uretan memiliki efek yang kecil pada
respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai anaestesi
dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan
eksperimen/percobaan (Hall & Clarke 1983)
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan bahan
·
Alat
1.
Jarum suntik
2.
Timbangan hewan coba
·
Bahan
1.
Mencit
2.
Urethan
III.2 Cara Kerja
·
Diambil 1 ekor mencit
·
Diamati keadaan biologi dari hewan coba meliputi :
bobot badan, frekuensi jantung, laju nafas, reflex, tonus otot, rasa nyeri dan
gejala lainnya bila ada
·
Dihitung dosis yang akan diberikam kepada hewan coba :
(Urethan
·
Disuntikan masing – masing zat pada hewan coba secara
ip (intra peritoneal)
·
Dicatat waktu kehilangan righting reflex
·
Dicatat kecepatan pernafasan dengan interval waktu 15
menit
BAB IV
HASIL DAM
PEMBAHASAN
IV.1 Perhitungan Dosis
Urethan (10 mg/kg bb) 10 %
Berat mencit 33 g
Dosis konversi:
= 0,0594 gram
Dosis
penyuntikan :
= 0,594 ml
IV. 2 Data biologis
hewan coba
Pengamatan
|
Hewan Coba
|
Mencit
|
|
Bobot
badan
|
33 g
|
Frekuensi
jantung
|
152 @ 38
|
Laju
nafas
|
152 @ 38
|
Refleks
|
+++
|
Tonus
otot
|
+++
|
Kesadaran
|
+++
|
Rasa
nyeri
|
+++
|
Gejala
lain:
|
|
Urinasi
|
-
|
Defekasi
|
-
|
Salivasi
|
-
|
Kejang
|
-
|
IV.
3 Tabel pengamatan depresansia pada mencit
Kel
|
Depresansia
|
|||||
Diazepam
|
Urethan
|
|||||
Onset
|
Durasi
|
Gejala
lain
|
Onset
|
Durasi
|
Gejala
lain
|
|
1
|
4,9
menit
|
3,55
menit
|
Defekasi,
salifasi
|
|
|
|
2
|
|
|
|
1,27menit
|
> 30 menit
|
pingsan
|
3
|
2,40
menit
|
5,45
menit
|
|
|
|
|
4
|
|
|
|
2,25
menit
|
1,2
menit
|
Urinasi,
kejang searah, spontan mati
|
5
|
2,35
menit
|
4,6
menit
|
Salifasi,
Defekasi
|
|
|
|
6
|
|
|
|
8,27
menit
|
36,3
menit
|
Mati
|
7
|
50
detik
|
1,2
menit
|
|
|
|
|
8
|
|
|
|
3,21
menit
|
45,57
menit
|
Pingsan
|
IV.4
Pembahasan
Pada
percobaan yang telah dilakukan yaitu Depresansia Sistem Syaraf Pusat (SSP) dilakukan pada hewan percobaan yaitu
mencit dengan kondisi biologis yaitu bobot mencit sebesar 33gr , dengan reflek , tonus otot, kesadaran
, dan rasa nyeri yang masih baik , namun
laju pernafasan dan frekuensi jantung cepat karena pada saat praktikum hewan
coba bisa dibilang mengalami stress
Pada saat
pemberian obat dilakukan dengan rute IP (Intra Peritoneal) yaitu pemberian obat
melalui rongga perut yang kosong. , rute ini di pilih karena obat yang disuntikkan dalam
rongga peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan cepat
terlihat, terbukti pada saat awal disuntikan sampai timbul efek (onset) bisa di
bilang cepat yaitu 1,27 menit,
Pada dosis terapi obat sedatif
menekan aktifitas,
menurunkan respons terhadap rangsangan emosi dan menenangkan (Ganiswara,Sulistia G. 1995). Efek sedasi merupakan
efek samping beberapa golongan obat yang tidak termasuk obat golongan depresan SSP. Pemberian obat ini
pada mencit menyebabkan aktivitas mencit menjadi menurun dan mencit menjadi lebih tenang. Pemberian obat
ini secara terus-menerus dengan
dosis bertingkat dapat menyebabkan keracunan akut yang ditandai dengan menurunnya frekuensi pernafasan mencit
(depresi nafas).
Tonus otot juga perlahan hilang, hal ini disebabkan oleh Urethan yang bersifat muscle relaxan sehingga tidak langsung
menyerang sistem syaraf pusat , dimana urethane ini terlebih dahulu menyebabkan
otot lembek kemudian tonus menghilang dan diteruskan dengan hilangnya
kesadaran.
Pada hasil pengamatan dapat dilihat durasi dari
diazepam lebih cepat di bandingkan dengan urethan dimana diazepam yang sifatnya
larut dalam lemak.. Obat ini akan mencapai MEC (Minimal Effective
Consentration) tertinggi sehingga mencit akan tertidur dan akan bangun lagi
karena secara farmakokinetik golongan obat benzodiazepin yaitu diazepam itu
larut dalam lemak. Saat keadaan plasma meningkat, obat dilepaskan sehingga
mencitnya tidur, tetapi saat keadaan plasma menurun, obat tetap tertimbun dalam
lemak sehingga mencitnya bangun begitu seterusnya
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum
yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa , urethan dan diazepam
merupakan obat depresansia yang menimbulkan efek sedative.
Obat sedative ini dapat
membuat hewan coba menjadi hilang kesadaran atau lebih tenang atau tidur.
Pada kelompok kami
melakukan penyuntikan dengan banyak uretan yang di ambil adalah 0,594ml dengan
cara IP (inter Peritoneal)
Untuk nilai onset
uretan lebih cepat di bandingkan dengan diazepam , namun untuk nilai durasi ,
diazepam lebih cepat di bandingkan dengan nilai uretan.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara Sulistia et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI
Press.
Ikawati, Z.,
(2006). Pengantar Farmakologi Molekuler.
Yogyakarta: Gadjah Mada
Katzung, Bertram
G.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.
Mycek, M.
J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar
Edisi II. Jakarta: Widya Medika
Purwanto, SL dan
Istiantoro, Yati. 1992. DOI(Data Obat
DiIndonesia). Jakarta: PT. Grafindian Jaya.
Tim Dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.
Comments
Post a Comment